Dialah Desire Doue, namanya adalah doa.
Pada 3 Juni 2005, seorang bayi laki-laki diberi nama penuh makna di sebuah wilayah di barat Prancis. Dialah Desire Doue, remaja yang baru ulang tahun ke-20, yang membuat keajaiban dalam laga final Liga Champions yang sangat penting di Muenchen.
Di balik nama Desire Doue ada lebih dari sekumpulan huruf; itu adalah bisikan doa yang tulus kepada Tuhan, yang akan mengguncang dunia saat dia lahir dengan menari di lapangan hijau.
“Desire” dalam bahasa Prancis berarti yang diinginkan atau yang diharapkan, dan “Doue” berarti berbakat atau dianugerahi kemampuan. Oleh karena itu, secara harfiah berarti “yang diinginkan dan dianugerahi bakat” dalam namanya.
Tuhan selalu benar. Doue memiliki bakat yang luar biasa, seperti namanya. Pada musim 2022/2023, Doue telah bergabung dengan tim utama Rennais. Debutnya terjadi pada pertandingan Rennais melawan FC Lorient pada 7 Agustus 2022. Saat itu, dia berusia 17 tahun, 2 bulan, dan 4 hari.
Pada musim 2024–2025, dia ditebus oleh PSG senilai 50 juta Euro, atau hampir lebih dari Rp900 miliar, untuk melanjutkan karier sepak bolanya. Ini adalah angka transfer termahal ketiga yang pernah diterima PSG di musim itu, di belakang Joao Neves dari Benfica (59,92 juta euro) dan Khvicha Kvaratskhelia dari Napoli (70 juta euro).
Untuk Doue, berada di salah satu klub terbesar di dunia membuatnya sedikit canggung. Bulan Agustus, Oktober, dan November tidak berjalan dengan cepat seperti adaptasi Doue.
Dia mencetak dua gol dan tiga assist pada bulan Desember. Itu adalah titik balik. Setelah itu, kemampuan Doue melonjak. mengolok-olok lawan Anda.
Walaupun masih muda, permainan lapangan Doue tampak seperti dia sudah bermain bola selama bertahun-tahun. Kecepatannya melampaui rata-rata. Ia tahu kapan harus melepas bola dan kapan harus menahannya. Ia percaya diri saat berhadapan dengan orang lain. Ia adalah penyerang sayap yang cerdas dan cepat. Dia sangat pandai menggunakan celah pertahanan lawan dengan gerakan tanpa bolanya.
Ia membawa PSG ke empat piala: Piala Super Prancis, Piala Prancis, Liga Prancis, dan terakhir Liga Champions, dengan 15 gol dan 16 assist dalam 54 penampilan.
Penampilan Minggu dini harinya di final Liga Champions melawan Inter Milan tentu menjadi yang paling diingat. Doue menyihir puluhan ribu orang di Muenchen dan jutaan orang di seluruh dunia saat bermain sebagai starter menggantikan Bradley Barcola.
Doue menari di langit malam Muenchen, menunjukkan kepada dunia bahwa dia adalah pemain sepak bola “yang diinginkan dan dianugerahi bakat”. Di antara pemain yang bermain di antara sebelas pemain terbaik kedua tim, usianya memang yang paling muda.
Namun demikian, ia tidak terlihat takut dan tidak terlihat gugup sama sekali. Dengan gerakan off the ball yang dia lakukan pada menit ke-12, dia meyakinkan bek-bek Inter yang terdiri dari pemain hebat seperti Benjamin Pavard, Francesco Acerbi, dan Alessandro Bastoni. Ia memilih untuk memberikan umpan kepada Achraf Hakimi, mantan pemain Inter, yang berdiri bebas daripada menembak langsung.
Ia menerima bola dari sisi kiri pada menit ke-20. Kemudian, dengan cepat, dia mengalahkan Yann Sommer untuk kedua kalinya. Pada menit ke-63, Doue mencetak gol keduanya dengan cara yang sangat indah untuk membawa Les Parisiens memimpin 3-0 di babak kedua. Pemilik tiga trofi Si Kuping Besar itu menerima tamparan sekeras-kerasnya.
Penampilan PSG malam itu disempurnakan oleh Kvaratskhelia dan Senny Mayulu dengan dua gol tambahan, yang mengakhiri final yang menciptakan sejarah dengan skor 5-0.
Gol itu membuat Doue dan Mayulu masuk dalam jajaran pencetak gol termuda di final Liga Champions, bersama dengan Patrick Kluivert, yang masih berusia 18 tahun saat mencetak gol untuk Ajax pada 1995, dan Carlos Alberto Gomes, yang masih berusia 19 tahun saat mencetak gol untuk Porto pada 2004.
PSG mencapai kemenangan Liga Champions untuk pertama kalinya sejak berdirinya pada tahun 1970. Setelah menjadi pemain terbaik dalam pertandingan final, pemain muda terbaik di Liga Champions, dan masuk tim terbaik musim Liga Champions, malam yang tak terlupakan bagi Doue semakin lengkap.
Karena namanya adalah doa, Doue masuk ke dalam sejarah sebagai mimpi yang menjadi kenyataan. Lebih dari itu, penampilannya di final Liga Champions adalah doa orang tuanya yang terkabul.
Dengan rata-rata usia 24,8 tahun, Luis Enrique menurunkan sebelas pertamanya. Salah satu dari lima pemain tersebut berusia di bawah rata-rata usia. Empat nama tambahan adalah Kvaratskhelia, 24 tahun; Nuno Mendes, 22 tahun; William Pacho, 23 tahun; dan Joao Neves, 20 tahun.
Dari sebelas pemain pertama yang dikeluarkan Enrique, hanya Marquinhos yang berada dalam skuad Les Parisiens ketika mereka mengalahkan Bayern Muenchen 0-1 di final Liga Champions musim 2019/2020.
Inter, di sisi lain, kehilangan sebelas pemain pertama dengan rata-rata usia 30,3 tahun. Dari sebelas pemain starter yang dikeluarkan, tujuh tampil di final Liga Champions 2022/2023. Empat pemain, Marcus Thuram, Henrikh Mkhitaryan, Benjamin Pavard, dan Yann Sommer, tidak termasuk dalam tim starter di final yang berlangsung di Istanbul, Turki.
Skuad Inter menunjukkan pengalaman, tetapi sepak bola juga tentang orang yang lapar. Seperti yang ditunjukkan oleh darah muda PSG. Berkata Soekarno, Presiden pertama Indonesia, “Beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Skuad muda PSG mendominasi Inter sepanjang pertandingan dengan 59 persen penguasaan bola dan 23 tembakan yang berakhir dengan delapan peluang besar. PSG menerima kemenangan tiga kali lipat karena kesempurnaan mereka. Enrique masuk ke lemari sejarah untuk menyamai Pep Guardiola (Barcelona dan Manchester City), seorang pelatih yang pernah memenangkan tiga pertandingan berturut-turut dengan dua tim berbeda. Dia memulai kariernya di Barcelona pada tahun 2014/2015.
Sebaliknya, Inter kehilangan semua dalam satu bulan. Setelah dikalahkan oleh Milan di Coppa Italia dan dikalahkan oleh Napoli di Serie A, impian mereka untuk memenangi tiga medali emas pupus.
PSG menunjukkan bahwa filosofi permainan Inter, yang cenderung berfokus pada bertahan dan bergantung pada serangan balik, sudah ketinggalan zaman. Filosofi sepak bola telah berubah, dan sekarang bermain sepak bola tidak hanya menyenangkan dan indah untuk dilihat, tetapi juga mematikan, menyengat, dan menghasilkan trofi.